Artikel · 28/05/2013

Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE)

LPSE atau Layanan Pengadaan Secara Elektronik pada awalnya merupakan sistem e-procurement (pengadaan secara elektronik) yang dikembangkan oleh LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah). Sistem LPSE dikembangkan dengan basis free license untuk diterapkan seluruh instansi pemerintah di Indonesia. Hingga pertangahan 2010, telah terdapat sekitar 60 instansi yang memiliki LPSE.

Pada perkembangan selanjutnya, LPSE didefinisikan sebagai unit pelaksana yang memfasilitasi Panitia/Unit Layanan Pengadan (ULP) pada proses pengadaan barang/jasa secara elektronik. LPSE sendiri mengoperasikan sistem e-procurement bernama SPSE (Sistem Pengadaan Secara Elektronik) yang dikembangkan oleh LKPP. Namun secara umum, LPSE diartikan sebagai sistem e-procurement termasuk di dalamnya aplikasi dan unit pelaksana.

SPSE – Sistem Pengadaan Secara Elektronik

SPSE merupakan aplikasi e-procurement yang dikembangkan oleh LKPP untuk diterapkan oleh instansi-instansi pemerintah di seluruh Indonesia. Instansi pemerintah di Indonesia sangat beraneka ragam begitu pula dengan anggaran yang mereka miliki. Ada instansi daerah yang memiliki anggaran lebih dari 7 trilyun dan ada pula yang hanya puluhan hingga ratusan milyar saja per tahun. Kondisi ini menjadi pertimbangan LKPP dalam mengembangkan sistem e-procurement SPSE.

SPSE dikembangkan dengan semangat free license. Instansi dengan anggaran yang terbatas tetap dapat menerapkan SPSE karena tidak diperlukan biaya lisensi kecuali pembelian server dan sewa akses internet. SPSE dikembangkan menggunakan Java dan database PostgreSQL sehingga dapat berjalan di Platform Linux. SPSE dikembangkan sejak tahun 2006 dengan mengacu business process yang tertuang pada Kepres nomor 80 tahun 2003 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Dalam mengembangan SPSE, LKPP melibatkan instansi-instansi terkait yaitu Lembaga Sandi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan(BPKP). Lembaga Sandi Negara mengembangkan Aplikasi Pengaman Dokumen (APENDO). Dokumen penawaran dari peserta lelang di-enkripsi dan di-dekripsi menggunakan Aplikasi Pengaman Dokumen (APENDO). Sub sistem e-audit dikembangkan bekerja sama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang memungkinkan SPSE mengeluarkan informasi detail tentang proses lelang untuk keperluan audit.

SPSE – Sistem Pengadaan Secara Elektronik

SPSE merupakan aplikasi e-procurement yang dikembangkan oleh LKPP untuk diterapkan oleh instansi-instansi pemerintah di seluruh Indonesia. Instansi pemerintah di Indonesia sangat beraneka ragam begitu pula dengan anggaran yang mereka miliki. Ada instansi daerah yang memiliki anggaran lebih dari 7 trilyun dan ada pula yang hanya puluhan hingga ratusan milyar saja per tahun. Kondisi ini menjadi pertimbangan LKPP dalam mengembangkan sistem e-procurement SPSE.

SPSE dikembangkan dengan semangat free license. Instansi dengan anggaran yang terbatas tetap dapat menerapkan SPSE karena tidak diperlukan biaya lisensi kecuali pembelian server dan sewa akses internet. SPSE dikembangkan menggunakan Java dan database PostgreSQL sehingga dapat berjalan di Platform Linux. SPSE dikembangkan sejak tahun 2006 dengan mengacu business process yang tertuang pada Kepres nomor 80 tahun 2003 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Dalam mengembangan SPSE, LKPP melibatkan instansi-instansi terkait yaitu Lembaga Sandi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan(BPKP). Lembaga Sandi Negara mengembangkan Aplikasi Pengaman Dokumen (APENDO). Dokumen penawaran dari peserta lelang di-enkripsi dan di-dekripsi menggunakan Aplikasi Pengaman Dokumen (APENDO). Sub sistem e-audit dikembangkan bekerja sama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang memungkinkan SPSE mengeluarkan informasi detail tentang proses lelang untuk keperluan audit.

LPSE – Layanan Pengadaan Secara Elektronik

LPSE merupakan unit yang dibentuk oleh sebuah instansi untuk mengoperasikan ssitem e-procurement SPSE. Pada awalnya LPSE hanya sebagai tim ad hoc yang dibentuk oleh kepala instansi (gubernur, walikota, menteri). Pada perkembangan selanjutnya, sebagian instansi telah mendirikan LPSE secara struktural seperti di Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Sumatera Barat. Pada proses pengadaan LPSE hanya sebagai fasilitator yang tidak ikut dalam proses pengadaan. Pelaksanaan proses pengadaan sepenuhnya dilakukan oleh panitia pengadaan atau Unit Layanan Pengadaan/ULP.

LPSE tidak hanya melayani pengadaan dari instansi tempat LPSE tersebut berada. LPSE Kementerian Keuangan misalnya, memfasilitasi pengadaan dari LKPP, KPK, Komisi Yudisial, dan PPATK. Hal serupa juga terjadi di LPSE-LPSE lain seperti di LPSE Universitas Diponegoro, LPSE Provinsi Jawa Barat, LPSE Provinsi Sumatera Barat, LPSE Kota Yogyakarta, dan LPSE Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Implementasi LPSE Secara Tersebar

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan lebih dari 13.000 pulau. Infrastruktur teknologi informasi masih menjadi kendala besar dalam implementasi eprocurement. Di sebagian besar wilayah, internet masih merupakan barang yang mahal. E-procurement memerlukan bandwith yang cukup besar karena di dalamnya ada proses upload dokumen dengan ukuran beberapa megabyte. Sangat tidak efisien, atau tidak mungkin, jika ada satu server tunggal, di Jakarta misalnya, untuk melayani seluruh instansi di Indonesia. Ada lebih dari 600 instansi di seluruh Indonesia. Implementasi secara tersebar dipilih karena:

Pengguna dan penyedia barang/jasa berada pada lingkup geografis yang terbatas/clustered

Setiap instansi perlu membangun LPSE dan memiliki server sendiri. Secara alamiah, pihak-pihak yang terlibat di dalam proses pengadaan berada pada lingkup geografis yang terbatas. Pengadaan di Kabupaten Malang misalnya, mungkin 90% lebih pesertanya berdomisili di Kabupaten Malang dan kota-kota terdekat seperti Surabaya, Pasuruan, atau Sidoarjo. Merupakan hal yang tidak efisien jika dokumen-dokumen dari Malang diupload dan disimpan di Jakarta kemudian didownload kembali ke Malang. Jauh lebih efisien jika dokumen-dokumen itu diupload dan disimpan di server yang berada di Malang.

Tidak semua penyedia memiliki akses internet yang cukup besar (idealnya minimal 1 mbps) untuk melakukan upload dokumen penawaran. Belum lagi kebiasaan penyedia untuk mengirimkan penawaran di jam atau menit terakhir. Kondisi ini menyebabkan potensi kegagalan upload sangat besar. Untuk itu, jika dokumen penawaran berukuran besar dan bandwidth di sisi penyedia tidak memadai, mereka dapat datang ke kantor LPSE untuk upload dari jaringan lokal (LAN) dengan kecepatan 100 mbps. Fasilitas upload melalui LAN ini tidak mungkin tersedia jika server LPSE terpusat di Jakarta.

Memang ada pertanyaan dari penyedia: apa bedanya dengan lelang konvensional jika penyedia masih perlu datang ke kantor LPSE untuk memasukkan penawaran. Jawaban pertanyaan ini adalah, mahalnya biaya akses internet bukan di ranah kewenangan dan tanggung jawab LPSE sehingga LPSE tidak dapat membuat akses ini menjadi murah. Untuk membuat biaya akses murah merupakan tanggung jawab pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Jika biaya akses internet telah dapat sangat murah, penyedia tidak perlu lagi datang ke kantor LPSE.

Infrastruktur teknologi informasi masih terbatas dan mahal

Implementasi e-procurement yang terpusat seperti Koneps di Korea atau GeBIZ di Singapura tidak mungkin diterapkan di Indonesia. Infrastuktur IT di kedua negara tersebut sangat memadai sehingga biaya internet sangat murah. Implementasi di Singapura yang hanya seluas Jakarta, tentu jauh lebih mudah dibandingkan implementasi di Indonesia yang sangat luas.

Referensi

  1. LKPP
  2. Blog LPSE

Sumber: Wikipedia