Artikel · 03/06/2015

Pendapatan dan Pembiayaan Daerah yang Efisien dan Efektif

Pajak sebagai sumber pendapatan adalah salah satu instrumen yang sangat pentingdalam desentralisasi fiskal, karena mencerminkan seberapa besar otoritaspendapatan yang dimiliki suatu tingkat pemerintahan. Selain sebagai sumberpendapatan, pajak juga merupakan instrumen untuk mengelola permintaan danpenawaran barang publik lokal, instrumen untuk mengukur transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah terhadap publik, dan instrumen untukmempengaruhi tingkah laku konsumen/publik setempat.
Penerimaan juga merupakan salah satu refleksi seberapa besar daerah dipercaya dan mempunyai kemampuan mengelola sumber-sumber pendapatan sendiri untuk membiayai pengeluarannya. Jika untuk satu atau beberapa alasan sumber-sumber fiskal yang penting dikonsolidasi dan dikelola di tingkat pusat, maka peran transferakan menjadi dominan. Sedangkan jika beberapa sumber fiskal yang penting dikelola oleh daerah, maka transfer seharusnya menjadi kurang dominan. Otoritas pajak yang dimiliki oleh suatu tingkat pemerintahan mempunyai beberapa tingkatan, dari hanya kewenangan memungut atau administrasi, kewenangan menentukan tarif, hingga kewenangan untuk menentukan jenis dan basis pajak. Dalam tingkatan otoritas yang paling rendah, pemerintah daerah hanya diberikan wewenang memungut (delegasi).
Kondisi saat ini. Dalam skema desentralisasi fiskal di Indonesia, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk memungut dan menentukan tarif secara terbatas (tarifmaksimum telah ditentukan oleh UU) untuk beberapa jenis pajak daerah yang ditentukan oleh UU. Hal ini menyebabkan daerah hanya memiliki instrumen yang sangat terbatas untuk mengelola sisi fungsi pendapatan. Walaupun dalam kenyataannya, banyak daerah mengeluarkan peraturan daerah untuk memungut pajak atau retribusi yang berdampak pada ekonomi biaya tinggi.
Rendahnya penerimaan pajak dan retribusi daerah ini ditunjukkan oleh data bahwa kontribusi PAD terhadap APBD hanya kurang dari 10%, seperti pada tabel berikut ini.
Tabel  Komposisi Pendapatan dari Pemerintah Daerah 2001-2005 (Total Gabungan Propinsi dan Kabupaten/Kota)
Komposisi Pendapatan Daerah 2001-2005
Sumber: Diolah dari data Depkeu (perbedaan mungkin disebabkan adanya ketidaklengkapan pelaporan APBD)
Kondisi yang diharapkan. Salah satu masalah penting dalam pajak daerah adalah belum diberikannya sumber pajak yang cukup signifikan untuk dijadikan andalan pendapatan daerah dan instrumen untuk merespon permintaan barang publik lokal dan akuntabilitas terhadap pemilih. Jika Indonesia ingin menuju desentralisasi fiskaldengan penguatan kapasitas daerah, maka penguatan pajak daerah adalah suatu syarat penting yang harus dilaksanakan. Penguatan pajak daerah ini tidak berarti memberikan sumber fiskal tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap daerah dan nasional, melainkan melalui penelahaan beberapa faktor dengan mengacu pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
Penjabaran strategi. Secara umum, terdapat tiga strategi utama guna memperbaiki kondisi perpajakan daerah saat ini, yaitu harmonisasi pajak pusat dan daerah, optimalisasi perpajakan daerah, dan pengkondisian perpajakan daerah yang tidak distortif terhadap perekonomian.
Hal penting yang harus menjadi perhatian dalam isu perpajakan adalah harmonisasi pajak daerah dan pusat. Karena basis pajak pada dasarnya tidak berubah atau bertambah dengan adanya jenis pajak baru, maka harus dihindari terjadinya pajak ganda (double-taxation) yang disebabkan pusat dan daerah sama-sama memungut pada basis pajak yang sama. Harmonisasi juga berarti baik pusat maupun daerah mempunyai sumber fiskal yang memadai sesuai dengan tugas pembiayaan yang diemban masing-masing. Harmonisasi ini juga tidak terlepas dari kerangka penerimaan total (termasuk transfer) dan pembagian beban belanja pusat-daerah (expenditure assignment).
Alokasi kewenangan pajak ke daerah akan mempengaruhi besaran transfer dan juga pembagian beban belanja. Salah satu jenis pajak yang penting adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang sampai saat ini secara formal dimiliki sepenuhnya oleh pusat. Tetapi beberapa pajak daerah seperti pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan, sebenarnya adalah varian dari PPN walaupun secara formal tidak dinamakan sebagai PPN. Dalam jangka panjang, diharapkan ada pembagian jenis PPN yang dimiliki pusat dan yang dimiliki daerah. Pembagian wewenang ini tentunya mempertimbangkan jenis komoditas/jasa yang dipungut PPN-nya, pada tingkat pemerintahan mana pengelolaan PPN ini akan optimal dan bagaimana mekanisme bagi-hasilnya jika ada.
Satu hal yang terkait erat dengan harmonisasi pajak pusat dan daerah adalah Local taxing power yang lebih optimal. Dengan memandang basis pajak secarautuh, maka ada peluang untuk melakukan redefinisi istilah perpajakan yanglebih tepat dan melakukan pengelompokan ulang basis pajak ini untukkemudian dipetakan pembagian pungutan pajak yang dapat dilakukan pusat,daerah, atau berbagi antara pusat dan daerah. Salah satu contoh yang dapat dilakukan adalah menerapkan sistem opsen untuk PPh. Sistem opsen ini selain sebagai sumber pendapatan, juga dapat menjadi instrumen daerah untuk berkompetisi sekaligus latihan bagi daerah untuk mengelola PPh. Pajak daerah yang baik tidaklah harus banyak jumlahnya, namun yang lebih penting adalahsignifikan hasilnya. Kedepan, pajak di daerah tidak perlu banyak tapi yangpenting adalah menguatkan perpajakan daerah. Satu hal penting yang harusselalu diingat dalam optimalisasi local taxing power adalah bahwa desain desentralisasi fiskal di Indonesia menghendaki adanya pajak daerah yang mampu memberikan hasil yang signifikan, bukan pajak daerah yang dominan.
Hal penting lainnya adalah menjaga agar pajak daerah tidak distortif terhadap perekonomian daerah. Redesain pajak juga sebaiknya diintegrasikan dengan perbaikan iklim usaha, yaitu simplifikasi perizinan usaha. Saat ini banyak daerah masih menerapkan berbagai pungutan untuk mendapatkan izin usaha.
Walaupun makin banyak daerah yang mempunyai Sistem Pelayanan Satu Pintu/Jendela (OSS = One Stop Service), tetapi pada tataran implementasi, masihbanyak OSS yang tidak secara signifikan mengurangi ekonomi biaya tinggi. Perizinan usaha memang dapat diurus melalui satu jendela, tetapi tetap terdapat beberapa jenis perizinan yang diperlukan dan masing-masing membutuhkan biaya.
Pajak Pengelolaan Usaha (business tax) dapat menjadi suatu instrumen yang berperan ganda: sebagai sumber pendapatan daerah, dan sebagai alat untuk menyederhanakan perizinan usaha di daerah tanpa menghilangkan unsur pengawasan dan pelaporan. Investor tidak perlu membayar biaya-biaya perizinan atau perpanjangannya secara terpisah-pisah, cukup melakukan pembayaran dalam satu jenis pajak ini. Daerah juga dapat mendesain tarif pajakini sehingga tidak memberatkan dunia usaha sekaligus sebagai alat untukmeningkatkan daya saing daerah.
Dengan kenyataan bahwa daerah di Indonesia sangat beragam kemampuan dankapasitas pemerintahan daerahnya, dalam desain pajak untuk daerah perludilakukan dua hal sekaligus: pertama, adanya pre-kondisi minimum untuk menjamin tidak adanya distorsi ekonomi akibat pemberian wewenang pajak tertentu ke daerah, dan kedua, pusat membantu meningkatkan kapasitas pemerintah daerah terutama dalam pemahaman ekonomi perpajakan dan kemampuan teknis administrasi perpajakan. Adanya pre-kondisi atau prasyarat minimum ini memungkinkan pengalihan pajak ke daerah menjadi tidak seragam dan serentak, tergantung kesiapan daerah masing-masing.
Rencana aksi 2015. Guna mendukung penerapan startegi tersebut di atas secara baik, maka dalam jangka yang lebih pendek perlu segera diterapkan beberapa kebijakan sebagai berikut:
  • Menguatkan pajak pusat dan daerah secara bersamaan sehingga pengalihan pajak ke daerah yang siap tidak akan menimbulkan ketidakstabilan pada sisi penerimaan anggaran nasional.
  • Mempercepat masa transisi pengalihan PBB dari 5 menjadi 3 tahun.
  • Menerapkan sistem opsen untuk beberapa jenis pajak tertentu, semisal pajak rokok dan PPh.
  • Mengenalkan Pajak Pengelolaan Usaha sebagai pengganti semua pungutan untuk memperoleh dan memperpanjang izin usaha.
  • Daerah diberi wewenang menentukan tarif pajak secara terbatas dengan terus dilakukan pemantauan atas kinerja perekonomian daerah. Hal ini untuk menghindari adanya ekonomi biaya tinggi.
  • Menyelaraskan penguatan pajak daerah dengan kewajiban belanja daerah dan besaran transfer dari pusat.