Artikel / Christian · 13/04/2016

Satu Tafsiran Hari Sabat

Sebuah Argumentasi Alkitab Berdasarkan Fakta Sejarah

Hari apakah hari Sabat? Apakah hari Sabat adalah hari Minggu, sebagaimana yang diajarkan kepada kita selama ini, atau apakah hari itu adalah hari Sabtu, sebagaimana yang dikuduskan oleh penganut agama Yahudi dan kelompok Kristen Advent Hari Ketujuh?

Banyak dari kita yang sering mengekspresikan kebingungan, sementara tidak sedikit juga yang mengambil sikap masa bodoh terhadap pertanyaan ini. Jika kita bertanya kepada para rohaniawan, jawaban yang datang akan berfariasi, tergantung latar belakang penafsiran masing-masing.

Setelah mengadakan diskusi Alkitab dengan beberapa sahabat, sehubungan dengan hari yang dikuduskan oleh Allah, maka secara sederhana materi ini telah disediakan. Sangat diharapkan materi ini dapat memberikan penjelasan singkat sehubungan dengan sejarah perobahan hari perbaktian, dari hari Sabat ke hari Minggu. Marilah kita mulai mendalaminya satu demi satu.

A. Secara Etimologi

Untuk lebih jelas dan tepat penggunaan istilah Sabat dan Minggu, marilah kita tinjau lebih dahulu pengertiannya secara etimologi, karena inilah “ilmu bahasa yang menyelidiki asal-usul kata serta perobahan-perobahan dalam bentuk dan makna.” [1]

1. Sabat:

Dari Ensiklopedia Umum didapati penjelasan bahwa: “Sabat = Sabbath yang artinya istirahat, adalah hari terakhir dari pekan, yaitu Sabtu.” [2] . W.J.S. Poerwodarminto, seorang profesor bahasa Indonesia yang disegani di seanteroh Indonesia memberikan pengertian bahwa: “Shabaa artinya hari ketujuh.”[3] Noah Webster mengartikan kata Sabat: “Saturday (Inggris), Sabbatun (Latin), dan Sabbaton (Grika) semuanya ini menyebutkan penyucian hari ketujuh dalam pekan.” [4]. Keterangan di atas menolong kita memahami bahwa hari Sabat ialah hari Sabtu, yaitu hari ketujuh dalam pekan (Kejadian 2a;1-3; Keluaran 20:8-11). Nabi Yesaya mengatakan “hari Sabat sebagai hari kenikmatan”(Yesaya 58:13, 14).

2. Minggu:

Melalui Ensiklopedia Umum kita memperoleh penjelasan bahwa : “Minggu adalah hari Ahad, ahad adalah kesatu.”[5] Keterangan dari kamus Webster sehubungan dengan Minggu ialah “Sunday artinya hari Matahari, hari pertama dalam pekan.”[6] Keterangan di atas menolong kita untuk mengerti bahwa hari Minggu adalah hari pertama dalam pekan. Kebiasaan orang Babilon menyembah Dewa Matahari pada hari pertama, yang kemudian diikuti oleh orang-orang Israel, dan cara ini sangat menyakitkan hati Tuhan (Yehezkiel 8:16, 17).

B. Latar Belakang Perobahan Sabat ke Minggu

Herodes menjadi raja di wilayah Yehuda pada 37 BC. (BC. singkatan dari Before Christ, adalah perhitungan tahun Sebelum Masehi – dihitung mundur), setelah jenderal Pompeyus menguasai Palestina pada tahun 63 BC. Ketika menjabat sebagai raja, Herodes kurang menunjukkan sikap kompromi terhadap agama Yahudi. Sikap Herodes yang demikian membuat orang-orang Yahudi kurang senang, bahkan membencinya, sekaligus membenci pemerintahan Roma pada umumnya, karena Herodes merupakan wakil (raja boneka) di Yehuda, yang juga adalah pelayan paling setia dalam menjalankan kebijakan kaisar Agustus.[7] Pemberontakan Yahudi yang paling hebat terhadap pemerintahan Roma terjadi pada tahun 70-135 AD. (AD. singkatan dari Anno Domini – tahun Masehi – sebagaimana yang digunakan sekarang), saat mana jutaan orang Yahudi mati oleh penganiayaan masal.

Pada saat itu Kekristenan baru mulai bertumbuh, namun bertumbuh dalam keadaan yang sangat sulit. Kesulitan pada suatu sisi ialah ketika pemerintah Roma menganiaya orang Yahudi, orang-orang Kristen juga terkena imbas penganiayaan tersebut oleh karena beberapa persamaan, seperti menguduskan hari Sabat dan memperingati tanggal 14 Nisan, bulan pertama dari penanggalan Yahudi.[8] Orang Yahudi merayakan tanggal tersebut sebagai peringatan kelepasan dari Mesir (Keluaran 12:23-28, 43-51), sementara orang Kristen memperingatinya sebagai hari kematian Kristus. Agar orang Kristen tidak lebih banyak yang mati terbunuh oleh kekejaman penganiayaan Romawi kafir, maka Sixtus, seorang pemimpin gereja dari tahun 113-126 AD.,[9] berfikir untuk membedakan identitas Kristen dari Yahudi, dengan merayakan hari kebangkitan Yesus Kristus secara annual (setahun sekali).[10]

Kekaisaran semakin lama semakin hebat menindas dan menganiaya orang Yahudi, sehingga orang Kristen yang menguduskan hari Sabat dianggap sebagai Yahudi atau disamaratakan dengan Yahudi. Pada tahun 117 AD., Kaisar Roma, Hadrian, mengeluarkan larangan terhadap acara keagamaan Yahudi, seperti sunat, penyucian hari Sabat dan lain sebagainya.[11]

Pada sisi yang lain, Kekristenan, oleh orang Yahudi dianggap sebagai sekte Yahudi, dan itulah sebabnya sangat dibenci oleh mereka. Hal ini sangat dirasakan oleh pemimpin gereja pada waktu itu. Maka untuk mengadakan semacam “perlawanan” terhadap Yahudi, gantinya memelihara kekudusan hari Sabat, mereka menurunkan perintah agar semua orang Kristen memelihara hari Minggu, hari di mana pesta penyembahan terhadap Dewa Matahari diadakan. Pesta ini merupakan pesta yang paling disukai oleh orang kafir dari antara pesta-pesta yang lainnya. Dengan cara ini maka salah satu praktek kekafiran telah dibawa masuk ke dalam gereja Kristen.[12]

Pada tahun 145 AD., Polycarpus, Bishop di Smirna, datang ke Roma untuk suatu maksud. Ketika melihat perobahan besar yang telah terjadi sehubungan dengan perayaan hari Minggu, ia terperanjat karena heran. Ia bahkan sempat berargumentasi dengan Anicetus, pucuk pimpinan gereja pada waktu itu. Namun untuk menghindari pertengkaran diantara mereka maka masing-masing setuju pada pemikiran mereka.

Benih perbaktian dan penghormatan terhadap hari Minggu yang ditanam oleh Sixtus sangat didukung oleh para pemimpin gereja sesudahnya, Buktinya pada tahun 200 AD., Paus Victor I merasa bertanggungjawab untuk mempertahankan apa yang telah dilakukan oleh Sixtus, dengan memerintahkan agar semua yang tidak setuju dengan perayaan hari Minggu pada musim semi, dipecat.[13] Pemecatan ini dikhususkan kepada para Bishop, sementara para warga gereja yang sengaja melawan perintah ini dikucilkan . Demikianlah suatu pemaksaan telah dilakukan oleh mereka yang mengaku sebagai wakil Allah sehingga gereja terlihat identik dengan sistim kekafiran pada zaman itu.

Seirama dengan larangan terhadap praktek keagamaan Yahudi oleh kaisar Roma, para pemimpin gereja juga menggunakan kekuasaan untuk mengontrol gereja-gereja lain di luar Roma dengan menurunkan perintah yang bersifat paksaan untuk merayakan hari Minggu. Walau cara ini nampaknya berhasil, para pemimpin belum merasa puas karena gereja Kristen masih mempunyai persamaan identitas dengan agama Yahudi, yaitu perayaan tanggal 14 Nusan (Paskah), dan penyucian hari Sabat pada setiap pekan. Secara perlahan tetapi pasti, pemimpin gereja di Roma telah mengadakan perobahan sehingga perayaan hari Minggu yang tadinya dirayakan secara annual, menjadi hari perbaktian mingguan (sekali sepekan). Sejarah mencatat bahwa gereja mempunyai maksud tertentu dalam mengadakan perobahan hari perbaktian, yaitu untuk menjadikan hari Minggu sebagai hari suci umat menggantikan hari yang disucikan oleh Allah sendiri.[14] Oleh sebab itu walau hampir setiap gereja di dunia pada waktu itu menyucikan hari Sabat setiap pekan, orang Kristen di Aleksandria dan di Roma, atas dasar tradisi kuno, menolak untuk menyucikan hari Sabat.[15] Yang dimaksudkan dengan tradisi kuno yaitu tradisi yang telah ditanamkan oleh Sixtus dan Victor mengenai penghormatan kepada hari Minggu. [16]

C. Undang-Undang Hari Minggu (UUHM) Constantine

Sebagaimana telah kita ketahui, pada awal pertumbuhan Kekristenan, orang Yahudi mendapat banyak tekanan dan aniaya dari kaisar Roma. Hal tersebut turut dirasakan juga oleh gereja karena adanya persamaan di antara Kristen dan Yahudi. Untuk menarik simpati dari rakyat dan kaisar, gereja telah mengadakan semacam aliansi dengan berbakti pada hari keramatnya bangsa Romawi, yaitu hari Minggu, hari pertama pada pekan, karena pada hari itu orang Romawi mengadakan pemujaan kepada dewa Matahari.

Suatu perobahan besar sehubungan dengan hari kudus Allah ini ialah pada tanggal 7 Maret 321 AD; seorang kaisar Roma, Flavius Valerius Aurelius Constantine, yang juga dikenal dengan nama Constantine the Great mengeluarkan satu undang-undang yang berlaku untuk semua penduduk di wilayah perkotaan agar tidak melakukan pekerjaan pada hari Minggu. Dalam undang-undang ini ia menekankan nama “Matahari” sebagai ilah. Seluruh rakyat harus berhenti dari pekerjaannya pada hari Matahari. Orang yang tidak mentaati undang-undang ini akan dibunuh, kecuali para petani.

Willy Rodrof, seorang ahli sejarah dari gereja Swiss memberikan penilaian terhadap Constantine sebagai berikut:

“Seperti kebiasaan kebanyakan orang sezamannya dan juga teristimewa orang-orang yang mendahuluinya di atas takhta kerajaan, Constantine cenderung terhadap penyembahan matahari. Kita sudah menyebutkan bahwa pemujaan Mithra pada waktu itu tersebar luas, terutama di antara serdadu, dan kaisar adalah komandan mereka yang tertinggi. Oleh karena itu Constantine dapat mengumumkan UU membuat hari Minggu, hari perhentian yang wajib untuk mempersatukan kerajaan di bawah satu agama Matahari. Sudah tentu Constantine mengetahui hari perbaktian orang Kristen, dan mungkin dengan cara ini ia ingin mendapat sokongan dari golongan minoritas Kristen yang sudah bertambah besar jumlah pengikutnya, dan kepada siapa ia telah memberi toleransi.” [17]

Dapat dipastikan bahwa walaupun Constantine menurunkan UU untuk menonjolkan agama kafirnya, hal ini merupakan tindakan politik kaisar untuk menanamkan simpati sekaligus merangkul kelompok minoritas Kristen.

D. Sikap Gereja Terhadap UUHM Constantine

Pada tahun 330 AD., kaisar memindahkan ibu kota kekaisaran Roma dari kota Roma ke kota Konstantinopel, dan kota Roma selanjutnya diserahkan kepada pemimpin gereja untuk dijadikan kota Paus. Hal ini membuat hubungan antara kaisar dan Paus semakin erat. Mengingat tenggangrasa yang telah tercipta di antara mereka pada waktu lalu, serta telah berseminya saling simpati di antara keduanya, maka dapat dipastikan bahwa untuk menjaga semua hal ini, gereja (Paus) mendukung sepenuhnya UU Constantine. Dukungan Paus terlihat jelas ketika Konsili di Laodekia pada tahun 336 AD., gereja telah membuat suatu keputusan yaitu menyetujui UU ini, dan melarang orang bekerja pada hari Minggu.[18]

Gereja Katolik memahami bahwa perobahan hari Sabat itu merupakan suatu tanda eksistensi kekuasaannya. Stephen Kenan menulis dalam sebuah karyanya bahwa perobahan hari Sabat ke hari Minggu tidak ada wewenang dari Alkitab, tetapi karena merasa mempunyai kuasa untuk melakukannya, dan semua gereja moderen kini menyetujuinya.[19]

Tuan Enright, seorang Imam gereja katolik menulis di American Sentinel, New York, bahwa:

“Alkitab mengatakan ingat dan kuduskan hari Sabat. Gereja Katolik mengatakan, tidak! Dengan kuasa Ilahi saya sudah menghapus hari Sabat dan memerintahkan kamu untuk menguduskan hari pertama dalam pekan (yaitu hari Minggu). Dan sekarang seluruh dunia yang berkebudayaan tunduk dan memberi penghormatan serta menuruti perintah gereja Roma Katolik yang kudus.” [20]

Sebuah komentar yang lain mengatakan, anda boleh membaca Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu dan tidak akan pernah menemukan suatu pernyataan untuk menguduskan hari Minggu. Alkitab menegaskan penyucian hari Sabat, yaitu hari yang kita sendiri tidak menyucikannya.[21] Pendirian gereja Katolik terlihat jelas. Nabi Daniel telah menubuatkan bahwa akan ada kuasa yang mengubah waktu dan hukum (Daniel 7:25), dan gereja Katolik mengakui bahwa mereka adalah kuasa itu.

E. Bagaiman Dengan Anda?

Secara singkat kita telah melihat sejarah penyimpangan terhadap hukum Allah. Setan telah berhasil menuntun manusia kepada pelanggaran terhadap kehendak Allah justru pada awal pertumbuhan kekristenan. Tujuan Setan ialah agar tidak ada manusia yang selamat, tetapi sebaliknya agar semua binasa. Allah berfirman:

“Apabila engkau tidak menginjak-injak hukum Sabat dan tidak melakukan urusanmu padahari kudus-Ku; apabila engkau menyebutkan hari Sabat “hari kenikmatan,” dan hari kudus Tuhan “hari yang mulia” apabila engkau menghormatinya dengan tidak menjalankan segala acaramu dan dengan tidak mengurus urusanmu atau berkata omong kosong, maka engkau akan bersenang-senang karena TUHAN, dan Aku akan membuat engkau melintasi puncak bukit-bukit di bumi dengan kendaraan kemenangan; Aku akan memberi makan engkau dari milik pusaka Yakub, bapa leluhurmu, sebab mulut TUHANlah yang mengatakannya.”[22]

Sebagai orang Kristen yang menerima Alkitab sebagai satu-satunya dasar iman dan tingkah laku, sudah seharusnya kita berbangga dan berterimakasih untuk reformasi yang telah dilakukan oleh Martin Luther. Kita bersyukur kepada Tuhan unruk keberanian yang diberikan-Nya kepada beliau dalam mendobrak tradisi gereja sekaligus menolak kuasanya karena Kristus adalah satu-satunya kepala gereja.

Sebuah pernyataan yang dinyatakan oleh P. J. Kennedy, seorang rohaniawan Katolik yang menarik untuk disimak ialah:

“Sering umat Protestan mengejek tradisi kekuasaan gereja Katolik dan mengaku dipimpin oleh Alkitab, tetapi sesungguhnya mereka juga telah dipimpin oleh adat-istiadat gereja purba itu. Salah satu contoh yang mengejutkan tentang hal ini ialah perintah hukum keempat dari Sepuluh hukum, yaitu perintah untuk menycikan hari Sabat. Siapa dari umat Katolik dan Protestan yang menuruti perintah ini? Sama sekali tidak. Alkitab semata-mata diakui oleh umat protestan untuk ditaati tidak memberikan otoritas untuk mengganti hari ketujuh yaitu Sabat ke hari pertama. Dalam hal ini mereka menjauhi kuasa gereja Katolik tetapi tradisinya tetap saja terus diakui.” [23]

Ketika mengamarkan kepada murid-murid-Nya tentang hal pengajaran sesat, Yesus menekankan bahwa tidak semua orang yang berseru kepada-Nya akan masuk ke dalam kerajaan surga, tetapi hanya mereka yang melakukan kehendak Bapa yang akan menikmati kerajaan itu (Matius 7:21-23). Yesus berkata bahwa Ia akan mati dibunuh dan akan bangkit pada hari yang ketiga. Namun tidak ada perintah Yesus yang dicatat di dalam Alkitab bahwa para pengikut Yesus harus menguduskan hari kebangkitan-Nya. Jika demikian, atas dasar apakah hari Minggu harus diagungkan?

Pada satu ketika orang Farisi mempermasalahkan tindakan para murid Yesus memetik gandum pada hari Sabat. Melihat pola pikir mereka yang senantiasa mempersalahkan, Yesus mengecam cara mereka menguduskan hari Sabat yang kaku dengan berkata: “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat” (Markus 2:27, 28).

Banyak kalangan yang menafsirkan pernyataan Kristus ini dengan mengatakan bahwa dengan otoritas-Nya, Ia telah merobah (memindahkan kekudusan) hari Sabat kepada hari Minggu. Tetapi marilah kita menganalisa secara sederhana perkataan Yesus di atas dan membandingkannya dengan penafsiran banyak kalangan. ‘Mungkinkah Yesus menghendaki bahkan menyuruh umat-Nya untuk mengagungkan hari yang sama yang diagungkan oleh orang kafir dalam penyembahan kepada dewa kafir, “dewa” Matahari?’ Apakah Allah itu adalah oknum yang sederhana dan terbatas kemampuan-Nya sehingga tidak mampu menciptakan sesuatu yang baik menurut kehendak-Nya bagi umat-Nya sehingga ia mengadopsi cara dan ciri kekafiran untuk umat-Nya? Dapat dikatakan bahwa dengan tidak menguduskan hari Sabat-Nya kita secara sengaja maupun tidak sengaja sedang melecehkan Allah dan mengakui keterbatasan-Nya dalam mengadopsi cara kafir bagi umat-Nya

Yang sebenarnya ialah bahwa pada bahagian ini Yesus ingin menegaskan kepada orang Farisi bahwa cara mereka menguduskan hari Sabat itu salah. Yesus adalah Tuhan atas hari Sabat, dan cara Yesus menguduskan hari Sabat itulah yang benar, dan bukan versi mereka.

Sebagai bukti, ketika Yesus sedang berada di rumah seorang Farisi untuk makan bersama pada suatu hari Sabat, hadir juga seorang yang sakit busung air di situ. Melihat orang ini, Yesus bertanya kepada ahli Taurat dan orang Farisi:

“Diperbolehkankah menyembuhkan orang pada hari Sabat atau tidak?” (Lukas 14:3). Karena tidak ada jawaban dari antara mereka maka Yesus menyembuhkan orang itu.

Setelah menyembuhkan orang yang menderita penyakit busung air itu Yesus bertanya kepada mereka: “Siapa di antara kamu yang tidak segera menarik keluar anaknya atau lembunya kalau terperosok masuk kedalam sebuah sumur, meskipun pada hari Sabat?” (Lukas 14:1-6)

Satu ketika seekor katak ditangkap untuk digunakan sebagai bahan percobaan di laboratorium. Katak tersebut dimasukkan ke dalam sebuah loyang logam berisi air, dan kemudian loyang tersebut dipanaskan dengan api. Katak ini tidak mengetahui bahwa loyang yang ditempatinya itu sedang dipanaskan. Ia terlena oleh nikmatnya kehangatan air yang semakin lama semakin panas, yang akhirnya merengut nyawanya.

Nabi Hosea menulis, “Umat-Ku binasa karena tidak berpengetahuan.”[24] Agar tidak binasa karena ketidaktahuan kita sebagaimana katak, maka hal ini diberitahukan kepada kita, bahwa sesungguhnya Allah masih menyediakan satu hari perhentian, yaitu hari ketujuh bagi kita, umat-Nya (Ibrani 4:9).Ingat bahwa menguduskan hari Sabat tidak menyelamatkan kita, sebagaimana penurutan akan sembilan hukum yang lain dari sepuluh hukum Allah. Hukum Allah bukan juruselamat. Juruselamat kita adalah Yesus. Kita telah ditebus oleh Allah melalui Dia, dan sebagai ungkapan terimakasih kita kepada Allah, kita wajib menuruti perintah-Nya, menguduskan hari Sabat, dan itu adalah juga sebagai ungkapan cinta kita kepda-Nya (Yohanes 14:15). Inilah yang dimaksudkan dengan iman yang hidup, atau iman yang nyata, karena iman tanpa perbuatan yang merefleksikan iman itu, tentunya iman itu sia-sia saja adanya (Yakobus 2:17, 26). Menuruti perintah Allah adalah bukti dari iman yang hidup.

Dengan demikian jelaslah bahwa perobahan hari Sabat ke hari Minggu bukanlah merupakan kehendak Allah, tanpa otoritas Kristus, dan bukan oleh tuntunan Roh Kudus. Hal itu terjadi oleh karena kehendak manusia yang mau menguiti rancangannya sendiri.

Bagaimana dengan anda? Kepada siapa anda harus berpihak? Kepada Sixtus, Victor, Constantine, atau kepada Alkitab yang adalah satu-satunya dasar iman dan etika Kristen?

Ketika menulis kepada Titus, Rasul Paulus menasehatkan kepadanya agar jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajarannya, karena dengan demikian pengajaran itu akan memberikan harapan yang semestinya (Titus 2:7).

“Jujur adalah pelita hati,” satu ungkapan yang menarik. Kita harus jujur terhadap firman Tuhan. Hanya orang yang jujur yang dapat mengalahkan dunia. Hanya mereka yang jujur yang dapat menyatakan kesalahan dengan berani, karena orang yang jujur tidak dapat diperjualbelikan dengan kedudukan. Seorang yang jujur terhadap firman Tuhan menulis:

“Sabat ialah hari Sabtu dan bukan hari Minggu. Mengapa kita menyucikan hari Ahad, bukan hari Sabtu? Karena gereja telah menukar kesucian hari Sabtu kepada hari Minggu. Umat Protestan yang mengaku percaya kepada firman Allah menjadi bingung oleh peristiwa ini sebab tidak ada satupun ayat yang menyokong penyucian hari Minggu. Kata Ahad tidak ada di manapun di dalam Alkitab untuk disucikan, sebab itu tanpa menyadarinya kita sedang mentaati tradisi dari kekuasaan gereja Katolik.” [25]

Pada hari Sabat Allah berhenti dari pekerjaan penciptaan-Nya dan memberkati serta menguduskan hari itu (Kejadian 2:1-3). Allah berhenti dari pekerjaan penciptaan yang dibuatNya itu bukan karena Ia lelah, tetapi sebaliknya Ia justru ingin meninggalkan teladan kepada setiap manusia sepanjang zaman untuk diikuti. Kami percaya bahwa pada hari yang dikuduskan oleh Allah itu penuh dengan berkat rohani karena Allah sendiri yang telah memberkati dan menguduskannya.

Kita boleh memilih hari apa saja di dalam satu pekan untuk berbakti kepada Tuhan, atau menggunakan semua hari untuk maksud itu, tetapi jika kita tidak mengikuti teladan yang ditinggalkan oleh Pencipta kita, yaitu berhenti pada hari Sabat dan menguduskannya, dapat dikatakan bahwa kita tidak menghargai-Nya.

Beribadah kepada Allah haruslah dalam kebenaran, karena kebenaran adalah kehendak Allah. Jadi, sementara kita beribadah kepada Allah setiap hari, atau pada suatu hari tertentu, kita harus menguduskan hari Sabat, hari yang telah dikuduskan oleh Allah. Karena jika kita tidak menguduskan hari Sabat, kita melanggar kehendak, ketetapan, dan hukum Allah. Ingat, “dosa adalah pelanggaran terhadap hukum Allah” (1 Yohanes 3:4).

Sehubungan dengan ketidaksetiaan bangsa Israel terhadap kehendak, ketetapan, dan hukum Allah, Guru Agung kita pernah mengomentarinya dengan mengutip tulisan nabi Yesaya dengan berkata: “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari padaKu. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang kepada adat istiadat manusia” (Markus 7:7, 8).

Kita telah mempunyai banyak bukti yang jelas dari Alkitab maupun dari data sejarah sehubungan dengan hari yang dikuduskan oleh Allah. Diharapkan setelah data-data ini kita dapat membuat kesimpulan sekaligus keputusan yang benar untuk berpihak kepada Allah dalam melakukan kehendak, ketetapan, hukum-Nya.

Allah nengasihi manusia sehingga Ia telah rela mengutus Anak-Nya ke dunia, hidup di tengah-tengah manusia, untuk mengajar dan mengarahkan manusia. Dia berkata: “Jikalau kamu mengasihi Aku kamu akan menuruti perintah-perintahKu” (Yohanes 14:15; 15:14).

Hari Sabat bukan harinya orang Yahudi, atau harinya orang Advent, tetapi itu adalah harinya Tuhan Allah kita (Keluaran 20:8-10) dan itu diberikan kepada manusia sejak zaman Adam hingga sekarang ini (Markus 2:27; Ibrani 4:9) untuk dikuduskan (Keluaran 20:8).

Sifat Allah adalah kasih, dan Dia adalah sumber kasih karunia (2 Korintus 13:11). Nabi Musa memberikan kesaksian bahwa Ia adalah pengasih dan penyayang dan panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya, yang meneguhkan kasih setianya kepada beribu-ribu orang, yang mengampuni kesalahan, pelanggaran dan dosa (Keluaran 34:6, 7).

Oleh karena kasih-Nya yang besar maka Ia mengaruniakan kepada kita kesempatan kedua untuk diselamatkan melalui pemgorbanan Anak-Nya. Oleh kasihNya juga Ia mengaruniakan Alkitab, firman-Nya kepada kita untuk dijadikan pedoman, dan oleh kasih-Nya pula, Ia mengutus Roh Kudus untuk menuntun kita datang kepada firman-Nya yaitu Alkitab yang adalah kebenaran. Berbagai cara Ia gunakan untuk menyelamatkan kita karena memang Ia ingin agar kita selamat.

Satu lagi sifat Allah ialah adil. Oleh karena keadilan-Nya maka nabi Musa memberikan kesaksian bahwa Ia “tidaklah sekali-kali membebaskan orang yang bersalah dari hukuman, … (Keluaran 34:7).

Ia mencintai anda dan saya. Ia menginginkan agar anda dan saya hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Tentu Ia menginginkan anda menguduskan hari Sabat-Nya.

Maukah Anda menguduskan “hari Sabat Tuhan Allahmu” sebagai bukti ungkapan rasa cinta kepada-Nya?

Kiranya kasih dan kemurahan-Nya dapat menolong anda membuat keputusan yang benar untuk berpihak kepada-Nya melalui menguduskan hari Sabat Tuhan Allah.

Kiranya Tuhan Yang Maha pengasih dan Maha Penyayang senantiasa memberkati dengan hikmat Sorgawi, serta Roh Kudus-Nya mendorong para pembaca sekalian utuk menggali kebenaran dalam firman yang tertulis, Alkitab, adalah doa dan harapan kami, Amin.

[1]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, 1989., hal. 273.

[2]Yayasan Kanisius, Ensiklopedia Umum. Jakarta 1997, hal. 145.

[3]W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta, 1985, hal. 844, 845.

[4]Noah Webster, Webster New Twentieth Century. The World Publishing Company, NY., 1978, hal. 1519.

[5]Yayasan kanisius, Ensiklopedia Umum. Jakarta 1997, lihat artikel “Minggu.”

[6]Webster Dictionary, artikel “Sunday”

[7]H.Yagersma, Dari Alexander Agung Sampai Barkokhba. BPK. Gunung Mulia, Jakarta 1994, hal. 146-157.

[8]Wempie J. Lintuuran, Kaabah Allah Di Bumi. Lydia Fondation, Manado, 1991, hal. 55.

[9]Faa di Bruno, Catholic Belief. Oates & Washbourne Ltd, London 1948, hal. 48.

[10]Mark Finley, Hari Yang Hampir Dilupakan. Indonesia Publishing House, Bandung 1995, hal. 55.

[11]L.P. Qualbin, A History of the Christian Church, ha. 77.

[12]Carlyle B. Hagnes, From Sabbath to Sunday. Review and Herald Pub. Ass. Washington DC., 1928. hal. 31, 32.

[13]Finley, hal. 48

[14]Catholic Encyclopedia, vol. IV, hal. 53

[15]Ecclesiastical History, vol. V, hal. 22.

[16]Finley, hl. 56

[17]Harold E. Metcalf, Suplemen Alkitab Terjemahan Baru. LAI, Bogor 1985, hal. 124.

[18]Materi Kuliah Sejarah Gereja, Fakultas Theologia Universitas Klabat, Airmadidi, Manado, 1992.

[19]Sephen Khenan, A Doctrinal Catechism, hal. 174.

[20]Finley, hal. 59.

[21]Cardinal Gibons, Faith of Our Fathers. NY., Murphy Compay, hal. 89.

[22]Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab Terjemahan Baru. Bogor, 1984, Yesaya 58:13, 14.

[23]P.J. Kennedy, Rebuillding a Last Faith. NY., 1922, hal. 80.

[24]Lembaga Alkitab Indonesia. Alkitab Terjemahan Lama, Jakarta 1969. Hosea 4:6

[25]Burn Oates, The Catechism Simply Explained, London 1938, hal. 89.