Artikel · 02/12/2014

Subsidi BBM dan Uji Nyali Pemerintah

Beberapa hari terakhir ini, polemik terkait wacana rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi kembali mengemuka di ruang publik.

Paling tidak ada dua peristiwa pemicu hal itu. Pertama, pemberian kewenangan kepada pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2013 tanpa perlu persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kedua, pernyataan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro mengenai mekanisme pemberian subsidi energi yang belum memenuhi rasa keadilan karena sebagian besar justru dinikmati kalangan menengah ke atas.

Tidak dapat dipungkiri, setiap muncul wacana mengenai rencana kenaikan harga BBM bersubsidi dapat dipastikan di saat itu pula muncul polemik berupa sikap pro dan kontra. Menaikkan harga BBM bersubsidi selalu dipandang sebagai kebijakan tidak populer secara politik. Bahkan, kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi sering kali dipolitisasi para elite politik demi menuai simpati publik sebagaimana dilakukan DPR saat mengadang rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi akhir Maret lalu.

Akan tetapi, jika kita telaah lebih jauh menaikkan harga BBM bersubsidi sesungguhnya merupakan kebijakan yang memiliki dampak positif bagi keseimbangan APBN. Jika pemerintah tidak menempuh langkah itu, beban subsidi energi di dalam APBN akan terus membengkak. Akibat lebih lanjut dari hal itu pergerakan roda perekonomian akan mengalami gangguan serius.

Sebagaimana diketahui bersama, alokasi subsidi energi dalam APBN terdiri dari subsidi BBM bersubsidi dan subsidi listrik. Alih-alih mengalami penurunan, setiap tahun beban alokasi subsidi energi itu justru semakin meningkat.

Penilaian serupa diungkapkan Bank Dunia. Menurut laporan Bank Dunia terkait perkembangan triwulan perekonomian Indonesia edisi Oktober 2012, belanja subsidi energi sangat tinggi sehingga membatasi belanja untuk perlindungan sosial atau infrastruktur.

Sebagai ilustrasi, pada tahun 2006 pemerintah mengalokasikan subsidi energi dalam APBN sebesar Rp 94,6 triliun yang terdiri dari subsidi BBM bersubsidi Rp 64,2 triliun dan subsidi listrik Rp 30,4 triliun. Kini, dalam APBN-P tahun 2012 besaran alokasi subsidi energi melonjak tajam mencapai Rp 202,4 triliun dengan rincian alokasi subsidi BBM bersubsidi Rp 137,4 triliun dan subsidi listrik Rp 65 triliun. Data di atas memperlihatkan lonjakan nilai subsidi yang sangat tajam dalam kurun waktu enam tahun.

Bahkan, menurut kalkulasi Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, jumlah alokasi subsidi energi itu setara dengan pemberian gratis negara kepada para pemilik kendaraan pribadi sebesar Rp 120.000 per hari. Pengurangan 50 persen subsidi energi dapat digunakan untuk menyelesaikan ruas jalan trans-Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

APBN Terganggu 
Jumlah alokasi subsidi energi dalam APBN yang terus mengalami peningkatan setiap tahun patut menjadi keprihatinan. Keseimbangan APBN yang terganggu akibat alokasi subsidi yang terlampau besar cepat atau lambat akan membawa dampak negatif terhadap performa perekonomian nasional secara keseluruhan. Karena itu, untuk meminimalkan efek negatif dari lonjakan harga minyak dunia maka pemerintah perlu mendorong efisiensi konsumsi BBM bersubsidi.

Selama ini, realitas di lapangan sering kali menunjukkan peningkatan konsumsi BBM bersubsidi tidak secara signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, harga BBM bersubsidi yang terlampau murah menjadi salah satu sebab utama inefisiensi konsumsi BBM.

Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2010, sebesar 25 persen kelompok rumah tangga dengan penghasilan per bulan terendah hanya menerima alokasi subsidi sebesar 15 persen. Sementara itu, 25 persen kelompok rumah tangga dengan penghasilan per bulan tertinggi menerima alokasi subsidi sebesar 77 persen.

Masih merujuk data Kementerian ESDM, jika dilihat dari sektor pengguna sebanyak 89 persen BBM bersubsidi dinikmati transportasi darat, transportasi laut 1 persen, rumah tangga 6 persen, sektor perikanan 3 persen, dan hanya 1 persen dinikmati usaha kecil menengah. Konsumsi Premium untuk transportasi darat 53 persen justru dinikmati mobil pribadi, 40 persen dinikmati motor, 4 persen dinikmati mobil barang, dan 3 persen dinikmati kendaraan umum.

Data-data itu menunjukkan secara gamblang pemborosan anggaran dan ketidaktepatan sasaran subsidi energi yang terjadi selama ini di Indonesia. Masalah pemborosan anggaran dan ketidaktepatan sasaran subsidi telah sejak lama menjadi ancaman utama bagi perekonomian Indonesia.

Bangsa Indonesia seakan tidak pernah dapat lepas dari perangkap ini. Sungguh tidak adil bila di saat pemerintah tengah dipusingkan dengan lonjakan harga minyak dunia, di saat yang sama dana subsidi justru lebih banyak dinikmati kelompok masyarakat mampu.

Karena itu, dibutuhkan keberanian pemerintah untuk mengambil langkah strategis dalam mengatasi ancaman ketidakseimbangan APBN akibat subsidi energi yang terlampau besar. Menaikkan harga BBM bersubsidi merupakan salah satu bentuk langkah strategis itu.

Selain menaikkan harga BBM bersubsidi, langkah lain yang juga perlu dilakukan pemerintah adalah meninjau ulang kebijakan subsidi BBM. Kebijakan pemberian subsidi BBM ibarat candu. Harga BBM bersubsidi yang terlampau murah membuat bangsa Indonesia tidak terdorong untuk memikirkan secara serius diversifikasi energi dan pengadaan energi terbarukan. Saat ini Indonesia termasuk di antara sedikit negara di dunia yang masih menerapkan subsidi minyak secara masif.

(Bawono Kumoro)