Artikel · 24/05/2013

Diskresi Menuju Inovasi, Gokresi Masuk Bui

Teori diskresi (discreation) menjadi bertambah populer di Indonesia setelah angin reformasi berhembus tambah kencang, tepatnya setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (lalu diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian dikuatkan oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Pemberlakuan otonomi daerah mendorong para elit local/pejabat public di daerah berlomba-lomba membuat berbagai terobosan atau kebijakan dalam rangka membangun dan memajukan daerahnya. Fenomena itu semakin ramai ketika banyak lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta di tingkat pusat memberikan penghargaan kepada daerah-daerah yang terbukti berhasil dari kacamata/perspektif yang ditentukan oleh lembaga-lembaga pemberi penghargaan itu, misalnya Lembaga Museum Rekor Indonesia dengan Penghargaan MURI-nya, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dengan Penghargaan Pelayanan Publik-nya, Laboratorium Otonomi Daerah yang digelar oleh Harian Jawa Pos, dll.

Adanya berbagai ajang dan lomba implementasi otonomi daerah dengan berbagai penghargaannya itu, tak pelak dijadikan pula sebagai ajang mempromosikan daerah, sehingga sering sekali ketika para pejabat public local diwawancarai oleh media, mereka membicarakan kata “diskresi dan inovasi”. Bagi kebanyakan orang awam mungkin agak kurang paham dengan kedua kata di atas, namun banyak pula masyarakat yang sudah memahami kata “diskresi dan inovasi” tersebut, karena kata diskresi dan inovasi itu cenderung berbau akademis atau ilmiah.

Meminjam pendapat para pakar hukum administrasi negara yaitu Wilson, 2009; Laica, 2008; Basah, 1997 dan Atmosudidjo, 1998; bahwa mereka bersepakat mengatakan pada dasarnya diskresi itu merupakan salah satu bentuk perbuatan hukum administrasi negara yang ada batasan-batasannya. Mereka juga mengatakan ada 2 (dua) macam diskresi, yaitu “diskresi bebas” bilamana undang-undang hanya menentukan batas-batasnya, dan “diskresi terikat” bilamana undang-undang menetapkan beberapa alternative untuk dipilih salah satu yang dianggap paling tepat oleh pejabat public (policy maker), tetapi kebebasan melakukan diskresi itu tidak boleh melanggar azas yuridikitas (tidak melanggar hukum) dan azas legalitas (sesuai ketentuan undang-undang).

Kemudian istilah “inovasi” yang sangat dekat terminologinya dengan hal baru, produk baru, hasil kreasi baru, layanan baru atau dapat dikatakan sesuatu hal baru yang belum pernah ada sebelumnya. Dikaitkan dengan kebijakan pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah, maka inovasi merujuk pada output (hasil keluaran/produk) yang dihasilkan oleh pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan fungsi pengaturan, fungsi pemberdayaan, fungsi pelayanan dan fungsi penegakan hukum di daerahnya. Contoh kongkrit misalnya : Sistem pelayanan perijinan yang diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Sragen-Jawa Tengah yang memang baik dan patut mendapat penghargaan.

Terkait euforia otonomi dengan beragam inovasi di bidang pembangunan dan pelayanan public di daerah, yang banyak lahir melalui proses penetapan kebijakan dilandasi teori diskresi, mendorong kita semua untuk ingin semakin lebih banyak memahami apakah penerapan diskresi itu telah dilakukan secara konsisten sebagaimana kaidah-kaidah hukum administrasi negara yang berlaku di Indonesia dan mengikuti pakem atau aturan formulasi kebijakan publik yang tepat ?

Mengingat pengingkaran atau inkonsistensi terhadap syarat melakukan diskresi dan inkonsistensi terhadap tahapan formulasi kebijakan public tidak dapat lagi dikatakan sebagai “diskresi”, sebab ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk bisa dikatakan suatu kebijakan merupakan “kebijakan bersifat diskresi”.

Sebuah kebijakan bisa dikatakan diskresi apabila memenuhi beberapa syarat antara laian : (1) adanya legalitas yang kuat, (2) memenuhi azas yuridikitas/tidak melanggar hukum, (3) adanya kewenangan yang dimiliki oleh si pengambil kebijakan/policy maker, (4) adanya alasan atau sebab yang kuat, (5) alasan yang kuat itu murni merupakan kepentingan public, (6) belum adanya aturan/norma jabaran atau legislasi semu-nya, (7) masalah bersifat emergency/darurat/mendesak, (8) tidak melanggar hak azasi manusia, (9) keputusan bisa dipertanggungjawabkan secara moril, (10) si pengambil keputusan/policy maker tidak menerima keuntungan, (11) bertujuan untuk menyelesaikan masalah.

Untuk mengoperasionalkan ke-11 syarat diskresi tersebut di atas dalam rangka mengkaji suatu kebijakan, dibutuhkan peran teori kebijakan public, dapat digunakan teori palumbo, 1987; Waye Parson, 2001; atau Howlet & Ramesh, 1995.

Palumbo menyatakan bahwa ada beberapa tahapan proses kebijakan publik yang dimulai dari : (1) agenda setting/penyusunan agenda kebijakan, (2) problem definition/penentuan masalah, (3) policy design/rancangan kebijakan, (4) policy legitimation/legitimasi kebijakan, (5) policy implementation/pelaksanaan kebijakan, (6) policy impact/dampak kebijakan, (7) termination/penghentian kebijakan.

Pengingkaran/inkonsistensi dan atau manipulasi terhadap kegiatan dalam tahapan formulasi kebiajakan public dengan dalih melakukan diskresi untuk menghasilkan suatu inovasi perlu untuk dikaji lebih cermat dan mendalam lagi. Syarat-syarat suatu kebijakan yang bersifat diskresi harus dikonfrontir, ketika hasil konfrontir menunjukkan adanya pengingkaran-pengingkaran dan manipulasi terhadap batasan-batasan diskresi sebagaimana yang telah dipersyaratkan, maka perlu dicurigai bahwa bukan diskresi yang dilakukan oleh pejabat public tersebut, tetapi hal itu dikategorikan sebagai konsep “GoKresi”.

GoKresi merupakan istilah/konsep baru (asal katanya adalah gabungan dari kata “ego” dan “creation”, artinya kreasi yang didasari ego/nafsu/keserakahan/maruk, sehingga bisa juga diistilahkan gila/crazy, gila karena keluar jauh dari kaidah-kaidah kepemimpinan yang ideal), yang pada dasarnya merupakan usaha manipulasi terhadap diskresi itu sendiri, yang intinya tetap ingin berlindung di balik hukum, menjadikan kepentingan public sebagai tameng, namun sebenarnya lebih banyak didasari ambisi ego actor pengambil kebijakan beserta kroninya. Untuk dapat melanggengkan ego-nya, si actor pengambil kebijakan tetap berusaha memberikan manfaat kepada public, tetapi jika ditelisik secara lebih mendalam dan seksama maka manfaat yang diterima oleh si pengambil kebijakan dan kroninya jauh lebih besar dibandingkan yang diterima oleh public.

GoKresi ini merupakan penyakit baru pejabat publik (sick government) atau salah satu patologi birokrasi yang mulai semakin banyak berkembang di daerah akibat penerapan otonomi yang lebih luas, kemudian pada saat yang sama  dilakukan penegak hukum dengan gencar guna melakukan pemberantasan korupsi. Oleh karena penegak hukum melakukan pemberantasan korupsi (belum menyentuh ranah kolusi dan nepotisme), maka oknum pejabat publik di daerah berusaha melindungi dirinya dengan melakukan GoKresi ini, sehingga sulit terjerat dengan pasal korupsi, mengingat publik tetap diberikan manfaat, sebagai bukti bahwa kebijakannya adalah inovatif, telah efektif dan efesien, apalagi jika kebijakan itu dikampanyekan dan akhirnya memperoleh penghargaan nasional, secara psikologis tentu para penegak hukum akan riskan melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Meskipun kondisinya demikian, bukan berarti bahwa kasus seperti itu tidak dapat diseret ke meja hijau, dapat saja diungkap kekeliruannya dengan terlebih dahulu diajukan ke pengadilan tata usaha negara, dipelajari proses formulasi kebijakannya dan actor-aktor yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan. Bahasa sederhananya GoKresi dilengkapi dengan pertanggungjawaban administrasi yang sebenarnya fiktif, banyak terjadi proses pengkondisian, yang hampir dekat terminologinya dengan “kolusi ber-jamaah”, sehingga cukup sulit untuk tersentuh hukum.

GoKresi ini cenderung akan semakin berkembang di daerah-daerah mengingat semakin gencarnya tiga lembaga penegak hukum kita (KPK, Kejaksaan dan Kepolisian) melakukan pemberantasan korupsi. GoKresi merupakan pilihan atau alternative yang paling aman bagi seorang pejabat public untuk menguras pundi-pundi anggaran pendapatan dan belanaja daerah (APBD) guna mengembalikan dana kampanye yang mereka keluarkan saat bertarung meraih/menduduki kursi jabatannya. Fenomena ini akan terus terjadi dan bahkan berkembang ketika lembaga penegak hukum kita kesulitan dalam menindak oknum-oknum pejabat tersebut. Perlu kita cermati pula, bahwa beberapa bulan belakangan ini pemberitaan di berbagai media lokal maupun nasional terkait dengan pilkada di daerah-daerah, adanya fenomena oknum pejabat incumbent yang sudah menjabat 2 (dua) periode dan tidak bisa mencalonkan diri lagi, berusaha untuk terus menancapkan kukunya, berusaha tetap dapat berkuasa dengan berbagai cara, misalnya : mempromosikan anak kandungnya untuk menggantikannya, mempromosikan istrinya atau saudara kandungnya. Yang semestinyanya perlu kita duga bahwa pada intinya mereka ingin terus melakukan kebijakan yang bersifat “GoKresi”, karena keuntungan materiilnya sangat besar.

Fenomena di atas mungin telah dicermati oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, karena beliau sosok mantan Bupati dan mantan Gubernur teladan yang dicintai rakyatnya karena ketulusan beliau mengabdi, sehingga tepat sekali beliau mewacanakan adanya rencana orientasi secara nasional bagi Kepala Daerah yang baru terpilih, serta wacana penerapan “one salary” (satu sumber penggajian/pendapatan), bagi para pejabat public.

Khusus bagi para penegak hukum (penyidik) di tanah air, dengan fenomena menjamurnya kebijakan di daerah yang bersifat GoKresi, maka jelas akan memberikan beban tambahan yang semakin berat lagi, sebab jika dilakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan yang bersifat GoKresi akan lebih banyak membutuhkan beban pikiran dan tenaga, serta biaya operasional yang lebih besar. Selain itu untuk memudahkan proses pengkajian/analisis maka para penyidik harus juga dibekali dengan konsep-konsep diskresi, GoKresi, konsep analisis kebijakan public dan implementasi kebijakan public. Bila anggaran memungkinkan institusi penegak hukum dapat mempekerjakan pakar-pakar analis kebijakan public.

Dengan kesiapan dan kemampuan penegak hukum yang maksimal maka kita semua tentu berharap agar oknum-oknum pejabat public yang melakukan GoKresi segera dapat digiring ke meja hijau untuk divonis, lalu dijeruji di hotel prodeo, sehingga tidak berlindung terus di balik permainan kata-kata “diskresi dan inovasi”.

Penulis : Gus Benk

Kandidat Doktor Kebijakan Publik

Pascasarjana Universitas Brawijaya – Malang