Business / Economics / News · 14/08/2007

Kebijakan Fiskal di Masa Krisis Ekonomi 1997

Kebijakan fiskal pada dasarnya adalah kebijakan pengaturan penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Pendapatan negara berasal dari pajak dan bahkan pendapatan berasal dari pinjaman atau bantuan luar negeri. Pinjaman luar negeri yang masuk dalam APBN hanya bersifat masuk dan keluar, artinya penerimaan dari sumber ini akan dicatat sebagai pendapatan pemerintah dalam tahun anggaran yang sama, sebagai sumber pengeluaran pembangunan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang berbeda dengan jumlah yang sama.

Dengan demikian, kebijakan anggaran pada hakekatnya adalah kebijakan pengelolaan keuangan negara dan terbatas pada sumber-sumber pendapatan dan alokasi belanja negara yang tercantum dalam APBN. Penghematan pemerintah yang bersumber dari penerimaan dalam negeri dikurangi belanja rutin dituangkan dalam APBN tahunan dengan menggunakan prinsip anggaran berimbang atau balance budgeting yang sudah ada sebelum era reformasi.

Berbagai kajian dan studi empiris yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga termasuk dari lembaga-lembaga seperti IMF, Bank Dunia dan ADB, tidak satupun yang menyimpulkan bahwa krisis yang di alami oleh negara-negara di Asia Tenggara yang di mulai pertengahan 1997 di Thailand kemudian merambat ke negara-negara lain, termasuk Indonesia bersumber dari kebijakan fiskal yang salah.

Berbagai indikator fundamental ekonomi pada masa itu yang merata di negara-negara asia tenggara menunjukan bahwa keadaan fundamental ekonomi, pada dasarnya masih dapat dikategorikan dalam keadaan sehat atau terkendali, meskipun terdapat indikator yang agak merisaukan yaitu membesarnya defisit transaksi pembayaran pada neraca pembayaran, serta menurunya daya saing export negara-negara di Asia Tenggara yang pada pada saat itu mendapat julukan the emerging market economies.

Menurunya daya saing export memang berkaitan dengan nilai mata uang yang cenderung overvaluaed dan hal ini menimpah Baht Thailand yang selama bertahun-tahun, nilainya tetap terhadap dollar AS. Indonesia pada saat itu, seperti pada masa-masa sebelumnya didalam mengelolah nilai mata uangnya berdasarkan sistem mengambang terkendali, sistem ini ternyata mampu betahan selama berpuluh-puluh tahun, karena pada satu pihak dapat mempertahankan stabilitas nilai rupiah dan pada pihak Lain memberi ruang gerak berupa fleksibilitas guna merespon keadaan pasar dengan adanya bandintervensi yang merupakan kewenangan bank Indonesia sebagai otoritas moneter.selain itu, di luar devaluasi rupiah yang telah dilakukan indonesia berkali-kali, setiap tahun rata-rata nilai rupiah mengalami depresiasi sekitar 4-5% terhadap nilai dolar AS.

Demikian pula, krisis ini tidak disulut oleh kebijakan moneter yang terlalu ekpansif dan hal ini terbukti dari besarnya angka inflasi yang pada masa sebelum krisis dapat dipertahankan dalam satu angka. Dengan demikian, kebijakan fiskal yang diterapkan Kementerian Keuangan, maupun kebijakan moneter yang diterapkan Bank Indonesia sebelum krisis, senantiasa berpegang pada prinsip kehati-hatian, bahkan pada tahun anggaran 1994-1997, juga tahun anggaran. mencatat ini. surplus anggaran telah dipertahankan di Indonesia dalam bentuk surplus anggaran atau SAL.

Pada dasarnya kebijakan anggaran yang dilaksanakan pada tahun anggaran 1993-1998 mengikuti kebijakan anggaran sebelumnya yaitu kebijakan anggaran yang prudent. Implikasinya, setiap tahun anggaran harus diupayakan untuk menciptakan surplus anggaran. Selain itu, kebijakan fiskal tidak boleh menjadi pemicu inflasi yang tidak terkendali.

Untuk mendorong investasi, pada tahun 1994 tarif pajak yang diterapkan sebelumnya adalah 15%, 25% dan 35%, diturunkan menjadi 10%, 15% dan 30%. Pengurangan ini merupakan pengurangan tarif normal, tetapi dengan itu perluasan pembayaran pajak. Selain itu, administrasi perpajakan terus ditingkatkan dan penindakan terhadap wajib pajak yang tidak mematuhi peraturan juga diperkuat. Akibatnya, meskipun tarif pajak normal mengalami penurunan, penerimaan pajak justru meningkat seiring dengan berkembangnya kegiatan ekonomi dan perdagangan.

  1. Seperti diberitakan saat itu, Bank Dunia menentang penurunan tarif pajak ini karena khawatir penerimaan pajak akan berkurang secara signifikan, dan ternyata keberatan Bank Dunia tidak terbukti. Menyikapi penurunan nilai rupiah tersebut, banyak kebijakan yang dilakukan untuk menyelamatkan nilai rupiah dan mengembalikan kepercayaan pasar dan investor terhadap Indonesia. Kebijakan yang dimaksud berupa:
    Perampingan besar-besaran melalui kebijakan fiskal (APBN) dengan memangkas pengeluaran dan menunda pembayaran non-darurat.
  2. Bank Indonesia menaikkan suku bunga sehingga suku bunga SBI mencapai 70% dalam upaya membatasi ekspansi kredit perbankan dan mengeluarkan uang beredar dari sistem perbankan yang dikonversi menjadi SBI di Bank Indonesia.
  3. Bank Indonesia mengintervensi pasar dengan menjual dolar seperlunya jika rupiah menunjukkan tanda-tanda depresiasi, yang sangat mengkhawatirkan karena kebijakan semacam ini masih diterapkan oleh Bank Indonesia hingga saat ini, seperti saat ini ketika nilai Rupiah terdepresiasi cukup tajam. . Demikian pula, Bank Indonesia memperluas cakupan intervensinya dalam upaya penyelamatan Rupee Managed Floating System.
  4. Indonesia, Jepang, dan Singapura mengintervensi pasar untuk meningkatkan nilai rupiah, melalui pembelian rupee oleh Bank of Japan dan Monetary Authority of Singapore.
  5. Sejumlah besar term deposit BUMN yang berada di berbagai bank untuk sementara dikonversi menjadi SBI kemudian dilepas secara bertahap.
  6. Membatalkan atau menunda banyak proyek besar pemerintah guna memperketat pengeluaran APBN dan menurunkan tarif impor barang agar cadangan devisa tidak semakin terkuras. Demikian pula, swasta didorong untuk menunda proyek-proyek bernilai tinggi untuk membatasi impor guna mendukung cadangan devisa dalam negeri.

Sebagai catatan, mengambangkan nilai rupiah dengan sistem mengambang merupakan hal yang terpaksa dilakukan pemerintah ketika berbagai upaya untuk menyelamatkan rupiah gagal membuahkan hasil yang diharapkan. Tanpa krisis mata uang seperti itu, Indonesia akan lebih memilih untuk membangun sistem floating yang terkendali.

Sumber: Beragam media dan berita.